Dampak Krisis Global 2008 terhadap Perekonomian Indonesia

  1. I.                  PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang

Negara Amerika Serikat merupakan negara maju yang dikenal sebagai pusat perekonomian di dunia. Amerika Serikat pun mencatat sejarah kelam dalam perekonomian karena mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 yang diawali dengan kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika Serikat. Siapa yang menyangka suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh , celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan menjalar keseluruh dunia.

Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan pendapatan yang diterimanya. Mereka hidup dalam hutang, belanja dengan kartu kredit, dan kredit perumahan. Akibatnya lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya, karena piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan kepada lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan –perusahaan tersebut harus bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh hutang-hutangnya yang mengalami jatuh tempo pada saat yang bersamaan. Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia. Krisis keuangan di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius pula, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.

Krisis global berdampak dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.

Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi

Dunia/ Kelompok

Negara / Negara

2006

2007

2008

2009

Dunia

5,0

4,9

3,7

3,8

Negara Maju

3,0

2,7

1,3

1,3

AS

2,9

2,2

0,5

0,6

Jepang

2,4

2,1

1,4

1,5

Jerman

2,9

2,5

1,4

1,0

Perancis

2,0

1,9

1,4

1,5

Italia

1,8

1,5

0,3

0,3

Negara Berkembang

7,8

7,9

6,7

6,6

Brasil

3,8

5,4

4,8

3,7

Meksiko

4,8

3,3

2,0

2,3

India

9,7

9,2

7,9

8,0

Indonesia

5,5

6,3

6,1

6,2

Sumber : IMF, World Economic Outlook, April, 2008

Catatan : Data pertumbuhan di Tabel ini menggunakan data PDB berdasar perhitungan PPP (Purchasing Power Parity).

Tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun-tahun yang penuh tantangan bagi ekonomi dunia. Pada kedua tahun tersebut pertumbuhan ekonomi dunia akan menurun dari 4,9% pada tahun 2007 menjadi 3,7% pada tahun 2008 dan 3,8% pada tahun 2009. Penurunan kegiatan ekonomi dunia ini terutama disebabkan oleh akan melambatnya pertumbuhan ekonomi AS dari 2,2% pada tahun 2007 menjadi 0,5% pada tahun 2008 dan 0,6% pada tahun 2009. Pada periode yang sama dan sebagai akibat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi AS, pertumbuhan ekonomi disemua negara-negara lain juga akan menurun. Kelompok negara-negara yang sudah maju akan menurun dari sebesar rata-rata 2,7% pada tahun 2007 menjadi 1,3% pada masing-masing tahun 2008 dan 2009. Kelompok negara-negara yang sedang membangun turun dari 7,9% pada tahun 2007 menjadi sekitar 6,7% pada dua tahun berikutnya. Suatu pola yang terlihat di sini adalah lebih besarnya tingkat penurunan yang terjadi pada negara-negara yang sudah maju (sekitar 50%) daripada di negara-negara yang sedang berkembang (hanya sekitar 15%). Terlihat dari perubahan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 menunjukkan Pertumbuhan ekonomi dunia sepertinya masih bergantung pada kondisi perekonomian yang terjadi di negara Adidaya Amerika Serikat (AS).

Indonesia merupakan Negara yang masih sangat bergantung dengan aliran dana dari investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para investor asing tersebut menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat jatuhnya nilai mata uang kita. Aliran dana asing yang tadinya akan digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk menjalankan perusahaan-perusahaan hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang pada ujungnya Negara kembalilah yang harus menanggung hutang perbankan dan perusahaan swasta.

Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam sebagai penyelamat dalam krisis global tahun 2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap  PDB (Product Domestic Bruto) cukup menjadi penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2008 lalu. Di regional Asia sendiri, Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa ‘selamat’nya Indonesia dari gempuran krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan PDB yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura yang rasio ekspornya mencapai 200% dan Malaysia mencapai 100%, sedangkan Indonesia sendiri ‘terselamatkan’ dengan hanya memiliki rasio ekspor sebesar 29%.

1.2.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimanakah kondisi keuangan Indonesia saat krisis global 2008?
  2. Apakah peranan para akuntan ikut andil dalam krisis ini?
  3. Apakah kontribusi yang diberikan bidang akuntansi guna mencegah krisis tersebut?

1.3.            Tujuan

Dari perumusan masalah yang diterapkan, maka tujuan penelitian ini :

  1. Mengidentifikasi kondisi keuangan Indonesia saat krisis global 2008.
  2. Mengidentifikasi peranan para akuntan dalam krisis tersebut.
  3. Mengidentifikasi kontribusi yang diberikan bidang akuntansi guna mencegah krisis tersebut.
  1. II.                METODE PENELITIAN

2.1.            Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari World Economic Outlook, Badan Pusat Statistik dan berbagai situs lainnya. Data yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi beberapa negara maju dan negara berkembang untuk periode 2006-2009 yang dilihat dari tingkat PDB riil, kondisi negara Indonesia saat terjadi krisis global maupun setelah terjadi krisis global tahun 2008.

  1. III.             HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.            Penyebab Krisis Keuangan Global

Krisis ekonomi ini yang terjadi di negara Amerika Serikat, kalau kita tinjau dari latar penyebabnya ada beberapa hal;

  1. Agresi Militer Amerika Serikat Ke Irak dan Afganistan.
    Dengan ambisi yang besar untuk memberantas teroris yang telah meluluh lantakkan Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang berhasil menghancurkan Word Trade Centre, Presiden Amerika bertekad untuk memburu orang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan akan menghancurkannya sampai ke akar-akarnya. Irak dan Afganistan yang menurut Amerika adalah negara yang merupakan sarang dan penyandang dana untuk kelompok terorispun menjadi sasaran invasi.
    Kedua perang ini sampai sekarang masih terus berlangsung yang membutuhkan banyak dana sehingga pendanaan negara terfokus pada kedua perang tersebut, yang memaksa Presiden Amerika Serikat harus bolak-balik ke Kongres Amerika Serikat untuk menyakinkan kongres bahwa perang masih akan terus berlanjut dan masih membutuhkan tambahan banyak dana.
  2. Subprime Mortgage di sektor perumahan
    Kata ”mortgage” berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar (kalau di Indonesia perjanjian akad kredit ada ada perbedaan sedikit). Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, seseorang mendapat kredit. Lalu, memiliki rumah. Rumah itu di serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Seseorang boleh menempatinya selama cicilan rumah tersebut belum lunas. Karena rumah itu bukan hak milik, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa di tempati dan harus pergi dari rumah tersebut. Begitu agresifnya para investment banking (perusahaan yang mirip Bank, karena perusahaan ini menerima berbagai macam deposito, tetapi tidak trikat dengan peraturan-peraturan perbankkan), sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage. Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun. Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran. Disisi lain pengusaha ingin perusahaan tumbuh semakin besar dan mendapat laba yang tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage yang seharusnya belum bisa tetapi dipaksakan dengan prinsip bila gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah rumah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman tetapi tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah yang memacu jatuhnya harga rumah ke level yang sangat rendah. Dengan turunnya harga rumah yang tidak sesuai dengan nilai pinjaman yang menyebabkan semakin banyak yang gagal bayar. Bank atau investment banking yang memberi pinjaman menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain, yang lain itupun menjaminkan ke yang lainnya lagi. Sehingga setelah terjadi kredit itu macet maka semua lembaga-lembaga penjamin itu ambruk secara berurutan sebagai layaknya kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain, roboh semua. Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers? Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ”para pelaku bisnis keuangan” sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba. Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank. Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah, yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage-kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan harga rumahnya terus naik. Kalau suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah. Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras. Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah: bank bisa bekerja sama dengan ”bank jenis lain” yang disebut investment banking. Apakah investment banking itu bank?. Invesment Banking adalah perusahaan keuangan yang ”hanya mirip” dengan bank tetatpi tidak terikat dengan peraturan yang berlaku pada dunia perbankan. Perusahaan ini lebih bebas dari pada bank, tidak terikat peraturan bank, bisa berbuat banyak hal : menerima macam-macam ”deposito” dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkannya!.
    Lehman Brothers, Bear Stern, Merrill Lynch dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu. dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja : kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ”personal banking”. Dengan kebebasan ini perusahaan ini menjamin pinjaman-pinjaman pada sub-prime mortgage yang menyebankan mereka terseret dalam kredit macet di sektor perumahan yang pada akhirnya perusahaan harus gulung tikar secara berurutan.
  3. Neraca Keuangan yang tidak sehat.
    Buruknya kinerja lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat ikut adil besar dalam krisis yang terjadi, dan diperparah dengan laporan badan-badan independen yang seharusnya memberikan analisis objektif mengenai sektor-sektor ekonomi di Amerika Serikat juga ikut dimanipulasi sedemikian rupa untuk menciptakan sentimen positif terhadap sektor perumahan namun tanpa disertai safeguard ekonomi yang memadai. Akibatnya muncul banyak kegagalan pembayaran kredit oleh para kreditor. Sebagai efek dominonya, pihak ketiga penopang kredit (yaitu badan-badan keuangan swasta) yang telah berinvestasi ratusan juta dolar banyak yang mengalami kerugian sangat besar dari sektor ini. Himpunan dana yang tadinya dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian Amerika Serikat kini tersendat dan tidak dapat diputar kembali untuk investasi. Akibatnya terjadi krisis finansial di dalam negeri yang memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi dan berpotensi untuk meruntuhkan fondasi ekonomi Amerika
  4. Telalu Overconfidance dalam penyaluran kredit.
    Karena terlalu percaya diri dalam penyaluran kredit, khususnya pada sektor perumahan sehingga orang / badan usaha yang memiliki reputasi buruk sekalipun masih mendapatkan kredit yang menyebabkan kridit besar-besaran mengalir begitu saja kepada para kreditor yang bermasah. Hal ini tentu saja akan memacu timbulnya kredit macet. Terjadinya kredit macet di sektor perumahan (sub-prime mortgage) yang menyeret terjadinya kredit macet di perbankan dan memaksa the FED (Bank Sentral Amerika Serikat) untuk menurunkan suku bunga hingga 2%. Krisis yang terjadi di awal tahun 2008 tersebut memicu kenaikan harga minyak mentah dunia hingga mencapai rekor tertingginya di bulan Mei sebesar 147 USD/barel. Akan tetapi, krisis yang terjadi belum berakhir. Naiknya harga minyak mentah dunia membuat dunia usaha mulai kualahan dan daya beli konsumen semakin menurun, sehingga menyebabkan keragu-raguan dan ketidak pastian pasar. Kredit macet perumahan tersebut akhirnya melibas dua nama besar perusahaan di sektor finansial, Merrill Lynch dan Lehman Brothers. Harga saham di bursa saham USA (Wall Street) dan dunia mulai mengalami penurunan dan mulai memicu krisis yang berdampak pada kolapsnya bank-bank investasi maupun perusahaan-perusahaan asuransi dunia. Saat itulah Pemerintah USA menyadari bahwa krisis tersebut sudah tidak dapat dibendung, dan meminta Kongres USA menyetujui dana talangan USD 700 miliar untuk menolong sektor keuangan. Namun, langkah tersebut sudah terlambat karena kepanikan di pasar modal sudah melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sebagai sentrum perekonomian dunia krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menimbulkan efek domino yang hebat, Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, Para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar, bahkan surat kabar New York Times menyebutnya sebagai kerugian paling buruk sejak peristiwa serangan 11 September 2001.
Sebagai negara tujuan ekspor dengan tingkat daya beli paling tinggi di dunia, menurunnya perekonomian Amerika akan berdampak luas terhadap perekonomian negara lain. Logikanya, dengan menurunnya daya beli masyarakat Amerika, maka tingkat permintaan terhadap barangpun akan berkurang sehingga negara-negara dengan volume ekspor yang besar ke Amerika akan mengalami penurunan nilai ekspor. Hal ini akan memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara dengan tujuan ekspor ke Amerika.

3.2.            Kebijakan Amerika Serikat dalam Mencegah Krisis Global

  • Beberapa langkah kebijakan yang diambil pemer­intah AS dalam mengatasi dampak krisis keuangan adalah memberikan dana talangan (bailout) sebesar USD700 miliar. Dana ini ditujukan untuk menyelamat­kan institusi keuangan dan perbankan demi mencegah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bailout dilakukan dalam bentuk pembelian surat utang subprime mort­gage yang macet dari investor.
  • Langkah berikutnya yang diambil Bank Sentral adalah menurunkan suku bunga 0,5 persen menjadi 1,5 persen. Hal tersebut dilakukan agar dana-dana masyarakat tidak mengendap di bank dan bisa meng­gerakkan sektor riil.
  • Selain itu, pemerintah juga berjanji membeli surat berharga jangka pendek USD900 miliar. Adapun Bank Sentral Amerika (Federal Reserve) juga mengumum­kan rencana radikal untuk menutup sejumlah besar utang jangka pendek yang bertujuan menciptakan tero­bosan dalam kemacetan kredit yang mengakibatkan krisis finansial global.

3.3.            Kondisi Keuangan Indonesia saat Terjadi Krisis Global

Fundamental ekonomi di Indonesia saat ini cukup kuat dalam menghadapi efek domino krisis keuangan global. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dari 5,5 persen di tahun 2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2008. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak krisis tahun 1998. Ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 6.4% pada semester I 2008 (yoy), dengan tiga sektor yang menga­lami pertumbuhan tinggi (qoq) adalah sektor pertanian 5.1%, sektor pengangkutan dan komunikasi 4,1% dan sektor listrik, gas dan air bersih 3.6%. Pertumbuhan tersebut didorong oleh pertumbuhan konsumsi yang meningkat dari 3,2 persen pada ta­hun 2006 menjadi 5,0 persen pada tahun 2007 dan diprediksikan akan terus meningkat di tahun 2008 dan 2009. Demikian juga pembentukan modal tetap bruto yang meningkat tajam dari 2,5 persen di tahun 2006 menjadi 9,2 persen (2007).

Sementara itu pengeluaran pemerintah menurun dari 9,6 persen menjadi 3,9 persen. Pertumbuhan sek­tor pertanian meningkat dari 3,4 persen (2006) menjadi 3,5 persen (2007). Sektor ekonomi domestik ini tetap kuat di tengah perlambatan perekonomian global. Indikator lain tampak dari terkendalinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD), laju inflasi yang relatif terkendali, menurunnya suku bunga (BI Rate), dan penerimaan dalam negeri (pajak) terus meningkat.

Secara regional, inflasi di negara-negara Asia juga merupakan gejolak global yang hampir dialami oleh se­mua negara berkembang. Inflasi Indonesia YoY sekitar 12,14% pada Septem­ber 2008 yang lebih disebabkan oleh faktor seasonality yaitu Bulan Puasa dan Lebaran disamping karena im­ported inflation, sedangkan inflasi tertinggi dialami oleh negara Vetnam sekitar 27.90% dan diikuti oleh Myan­mar sekitar 21.40%. Ke depan inflasi Indonesia akan terjaga dimana seir­ing dengan menurunnya goncangan ekonomi domestik dan fundamental ekonomi Indonesia yang semakin kuat (Aksa, 2008).

Gambar 3.1. Tingkat Perekonomian Indonesia

  1. 1.      Kondisi Pasar Modal

Masih berlanjutnya tekanan terhadap pasar keuan­gan global berimbas pada menurunnya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama Agustus 2008. Pada akhir Agustus 2008, IHSG ditutup pada level 2165,9 atau melemah 6,01 persen dibandingkan den­gan bulan sebelumnya. Pelemahan IHSG tersebut teru­tama disebabkan oleh gejolak eksternal yang bersum­ber dari permasalahan di bursa global.

Dari sisi domestik, penurunan IHSG masih relatif tertahan dengan terjaganya faktor fundamental emiten dan efektifnya peran komunikasi Bank Indonesia dalam meyakinkan pasar. Sejalan dengan perkembangan risiko global yang cenderung meningkat, penurunan IHSG juga merupa­kan dampak dari penyesuaian portofolio investor asing. Beberapa bursa global bahkan mengalami pelemahan cukup signifikan sebagai dampak pengalihan dana in­vestor asing dari negara emerging markets. Hal itu di­ lakukan untuk mengurangi eksposure aset berisiko dan kecenderungan ketatnya likuiditas global.

Dalam bursa domestik, perilaku penyesuaian porto­folio tersebut tercermin pada tekanan jual asing yang berlangsung hingga pekan pertama Agustus 2008. Na­mun, pada pekan kedua, investor asing kembali mem­bukukan net beli di pasar saham sebagai reaksi kon­disi pasar saham yang relatif undervalued. Pelemahan IHSG justru menjadi insentif bagi investor asing untuk membukukan net beli di pasar saham. Investor asing mencatat net beli pada Agustus 2008 sebesar Rp467 miliar atau naik dari posisi sebelumnya yang membukukan total net jual sebesar Rp895,4 mil­iar. Namun demikian, besarnya penarikan oleh inves­tor asing sebelumnya telah menyebabkan penurunan kapitalisasi asing menjadi Rp667,7 triliun per Agustus 2008 dari Rp790,8 triliun per Desember 2007 atau turun sebesar Rp123 triliun. Secara proporsional, kepemilikan asing pada Agus­tus 2008 juga menurun dan berada pada level 63,2 persen atau turun dari posisi Desember 2007 yang ter­ catat sebesar 66,3 persen.

2.    Kondisi Sektor Riil

Akhir-akhir ini pendapatan riil per kapita men­ingkat dari Rp8.319.000 pada tahun 2006 menjadi Rp8.725.000 pada tahun 2007. Di sektor ketenagakerjaan tingkat penganggu­ran terbuka menurun dari 10,3 persen (10,9 juta orang) pada tahun 2006 menjadi 9,1 persen (10,0 juta orang) pada tahun 2007. Jumlah penduduk miskin berkurang sebanyak 2,1 juta orang pada tahun 2008.

Selain itu terjadi peningkatan surplus neraca transaksi berjalan. Tercatat dari USD10,6 miliar (2006) menjadi USD11,0 miliar (2007). Peningka­tan tersebut disebabkan adanya kenaikan ekspor nonmigas sebesar 15,6 persen pada 2007. Meski demikian, ekspor migas masih menga­lami penurunan dari 13,3 persen (2006) menjadi 8,4 persen (2007). Salah satu penyebabnya ada­lah turunnya tingkat lifting produksi kilang-kilang catat sebesar 66,3 persen.

Tabel 3.1. Perbandingan Pangsa Pasar Ekspor Utama Indonesia

Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Agustus 2008 mencapai USD 95,4 miliar atau meningkat 29,9 persen dibanding periode yang sama tahun 2007. Adapun tujuan pasar ekspor Indonesia telah se­makin terdiversifikasi, sehingga peran Amerika Ser­ikat dan Uni Eropa semakin menurun. Oleh sebab itu, dampak langsung dari krisis finansial di Amerika Serikat tersebut belum begitu dirasakan. Untuk pasar Uni Eropa dan AS pangsa pasarnya tu­run, sedangkan ke Asia, Jepang dan Singapura cukup stabil, namun ke Asia emerging countries cenderung meningkat. Cadangan devisa Indonesia naik dari USD 42,6 miliar pada tahun 2006 menjadi USD 56,9 miliar pada 2007, bahkan pada Maret 2008 telah mencapai USD 60 miliar.

3.      Kondisi Moneter

Kondisi perbankan yang menjadi jantung perekono­mian Indonesia saat ini memiliki fundamental yang kuat. Hal itu tercermin dari angka rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL), likuiditas, dan permoda­lan. NPL netto, setelah dikurangi provisi hanya 1,42 persen jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan BI sebesar 5 persen.

Gambar 3.2. Pertumbuhan Kredit Perbankan di Indonesia

Likuiditas perbankan saat ini juga masih memadai, tercermin dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) yang masih dibawah 80 persen. Ketatnya likuiditas yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kelangkaan likuiditas yang ada di industri, tetapi lebih karena faktor psikologis dan kepemilikan likuiditas yang tidak merata antar bank. Banyak bank yang sebenarnya memiliki likuiditas ber­lebih, namun enggan meminjamkan ke bank lain karena khawatir sulit mendapatkan likuiditas pada masa men­datang.

Gambar 3.3. Loan To Deposit Ratio

Permodalan perbankan domestik saat ini juga cu­kup kuat. Ini tercemin dari rasio kecukupan modal yang sebesar 17 persen, jauh di atas angka maksimum 8 persen. Fundamental yang kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan fungsi intermediasi untuk mendorong perekonomian.

Dalam hal kebijakan moneter diarahkan untuk men­capai sasaran inflasi yang ditetapkan, yakni 8,0 pers­en pada tahun 2006 dan 6,5 persen pada tahun 2007. Pada 2006 – 2007, inflasi berhasil dikendalikan pada kisaran 6,6 persen. Hingga akhir September 2008, laju inflasi mencapai 10,47 persen, hal itu disebabkan kenaikan harga min­yak dunia pada kisaran USD130 per barel sehingga pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok naik. Namun, pemerintah berupaya untuk tetap mengendalikan laju inflasi.

Kebijakan fiskal dengan penerbitan SUN (Surat Utang Negara) pada tahun 2005 mencapai Rp22.574,7 miliar dan meningkat menjadi Rp35.985,5 miliar pada 2006. Selama 2006, melalui penerbitan SUN di pasar perdana domestik berhasil diserap dana sebesar Rp42.578,6 miliar dan secara keseluruhan jumlah SUN yang beredar baik domestik maupun internasional sampai dengan akhir Desember 2006 telah mencapai Rp742.727,9 miliar.

3.4.            Dampak Negatif Krisis Global terhadap Indonesia

Pertama, kinerja neraca pembayaran yang menurun.

Pada saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika Serikat mengalami resesi yang serius, sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menggerus daya beli masyarakat Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia. Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008.

Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal asing dari Indonesia khususunya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio mencatat defisit sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV-2008. Selain itu, adanya sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya pelepasan aset finansial oleh investor asing dan membuat neraca finansial dan modal ikut menjadi defisit.

Kedua, tekanan pada nilai tukar Rupiah.

Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan September 2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati. Namun sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711,- per USD pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048,- per USD. Pergerakan Kurs Rupiah selama tahun 2008 dan awal 2009 dapat dilihat dari grafik dibawah ini:

diolah dari: www.bi.go.id

Gambar 3.4. Pertumbuhan Kurs Rupiah terhadap USD

Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed exchange rate atau sistem nilai tukar tetap. Tetapi pada Pemerintahan berikutnya sampai sekarang, sistem yang dianut telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang. Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di pasar. Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate dimana Bank Indonesia berkewajiban menjaga Rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual valas untuk menghadapi supply dan demand yang berubah-ubah.

Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, terjadi keketatan likuiditas global, dengan demikian supply dollar relatif sangat menurun. Hal inilah yang memberikan efek depresiasi terhadap Rupiah. Keketaatan likuiditas global terjadi akibat perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga likuiditasnya untuk berjaga-jaga dari berbagai resiko bisnis yang meningkat akibat krisis global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mencari dana talangan dalam membiayai defisit anggaran pemerintah. Rumah tangga konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja guna mengantisipasi terhadap goncangan yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas diperparah oleh sikap bank yang terlalu berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya dalam rangka meminimalisir terjadinya kredit macet.

Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karena secara teoritis akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Harga-harga produk dalam negeri menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang diimpor dari negara lain. Di pasar negara tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih memilih produk dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia meningkat. Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga mengalami hal yang sama seperti Indonesia dimana mata uangnya juga mengalami depresiasi. Krisis global membuat daya beli masyarakat di setiap negara pada umumnya menurun. Sehingga Depresiasi tidak serta merta membuat ekspor Indonesia meningkat, bahkan ekspor justru turun.  Berdasarkan laporan BPS awal Maret 2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai ekspor pada Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008, nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36%.

Ketiga, dorongan pada laju inflasi.

Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga komoditi yang menurun dan penurunan harga subsidi BBM. Pergerakan inflasi di Indonesia dapat dilihat dari grafik berikut:

diolah dari: www.bi.go.id

Gambar 3.5. Pergerakan Inflasi di Indonesia

Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008 yakni hingga bulan September 2008. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia.

Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen. Deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi, dan jasa keuangan. Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat meningkat tajam pasca kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun 2008 mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen.

3.5.            Peranan Akuntan dalam Krisis Global

Akuntan sangat berperan dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam perekonomian suatu negara. Indonesia merupakan negara yang terkena dampak cukup ringan dalam terjadinya krisis global tahun 2008, namun ditetapkan harus dapat mengantisipasi keuangan negara dengan salah satu cara melakukan perbaikan sistem keuangan. Pelaksanaan perbaikan sistem keuangan dapat terjadi dengan adanya partisipasi seluruh akuntan Indonesia. Perbaikan sistem keuangan itu menyangkut berbagai aspek, yaitu:

1.         Menuju sistem pembukuan dan anggaran akrual untuk mengungkapkan hak dan kewajiban kontijensi serta perencanaan jangka panjang berbasis kinerja;

2.         Mewujudkan sistem pembukuan keuangan negara yang terpadu (TSA-Treasury Single Account);

3.         Menggunakan sistem aplikasi teknologi komputer yang terintegrasi;

4.         Melakukan inventarisasi serta penilaian kembali aset maupun hutang negara;

5.         Memenuhi jadwal penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan serta pertanggungjawaban anggaran negara sebagaimana diatur dalam Paket Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004;

6.         Meningkatkan quality assurance oleh pengawas internal, dan

7.         Meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) dalam bidang akuntansi dan pengelolaan keuangan negara.

3.6.            Kontribusi Bidang Akuntansi dalam Mencegah Krisis Global

Akuntansi merupakan bagian dari proses pengelolaan sistem keuangan yang terjadi di Indonesia. Proses yang benar tentunya akan menghasilkan laporan keuangan negara yang tepat. Oleh sebab itu, negara yang memiliki pelaksanaa akuntansi yang sehat dan kuat akan menghasilkan negara yang memiliki perekonomian yang baik pula. Beberapa prinsip akuntansi dalam melaksanakan terjadinya pencegahan krisis global, sebagai berikut :

  1. Akuntabilitas. Akuntabilitas berorientasi pada hasil. Hal ini merupakan landasan penerapan anggaran berbasis kinerja. Artinya, dalam pertanggungjawaban Keuangan Negara, akan dilihat kinerja apa yang telah dicapai oleh Pemerintah dalam menghabiskan dana APBN/APBD. Jika tidak ada kinerja yang dicapai maka tidak boleh se-sen-pun uang Negara dibelanjakan.

2.      Profesionalitas. Karena uang Negara merupakan uang rakyat yang harus bernilai maksimal (value for money) bagi kesejahteraan masyarakat, bukan hanya kesejahteraan aparatur Negara. Oleh karena itu, pengelolaan Keuangan Negara harus dikelola secara professional. Penerapan sistem akuntansi keuangan harus benar-benar diterapkan baik untuk APBN maupun APBD.

3.      Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara. Rakyat berhak tahu kemana dan untuk apa anggaran Negara dibelanjakan. Dalam pertanggungjawaban Keuangan Negara, masyarakat perlu diberikan hak untuk mengetahui pertanggungjawaban Keuangan Negara yang dilakukan oleh Negara atau daerah. Minimal, Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah perlu dipublikasikan sehingga masyarakat dapat menilai pertanggungjawaban tersebut.

4.      Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Ini merupakan amanah baru bagi BPK-RI terutama untuk memeriksa pertanggungjawaban kepala daerah yang sebelumnya tidak ada kewajiban tersebut. Sebelum laporan pertanggungjawaban Pemerintah (Perhitungan Anggaran Negara) dan laporan pertanggungjawaban kepala daerah disampaikan kepada DPR/DPRD, wajib diperiksa terlebih dahulu oleh BPK-RI.

5.      Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.6. APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Hal berikutnya mengenai audit Keuangan Negara. Audit keuangan Negara dalam peket UU tentang Keuangan Negara ditetapkan dengan UU 15/2004. Dari UU tersebut, secara jelas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diamanahi suatu tugas berat yaitu melakukan pemeriksaan (audit) atas pengelolaan dan tanggung jawab seluruh unsur keuangan negara. Beberapa hal yang dirasakan sebagai kemajuan dari penetapan UU Pemeriksaan tersebut antara lain:1. BPK diberikan kebebasan dan kemandirian dalam menentukan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan, penyusunan dan penyajian laporan audit. Meskipun demikian, lembaga perwakilan (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dapat memberikan saran dan mengadakan pertemuan konsultasi dengan BPK dalam perencanaan tugas pemeriksaan.

Ada dua hal yang berkaitan dengan keuangan Negara yaitu pengelolaan keuangan Negara dan tanggung jawab keuangan Negara. Pengelolaan keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan Negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dengan demikian, pejabat pengelola keuangan Negara akan memegang amanah bukan hanya dalam pelaksanaan, akan tetapi juga dari perencanaan sampai pertanggungjawabannya. Tanggung-jawaban keuangan Negara adalah kewajiban pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan Negara secara tertib, taat pada peraturan perundangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.

Apabila bidang akuntansi telah memberikan kontribusi yang baik dalam mengelola keuangan negara dan tanggung jawab atas pengelolaan tersebut, maka Indonesia akan memiliki ketahanan perekonomian yang cukup kuat dalam mencegah ataupun menghadapi krisis keuangan global di masa yang akan datang.
3.7.      Kebijakan Bank Indonesia dalam Menghadapi Krisis Global

Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang mempunyai independensi dari pemerintah mempunyai kewajiban menjaga stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat meminimalisir dampak dari krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan beberapa kebijakan, yakni:
Pertama, Kebijakan dalam sektor moneter. BI mengarahkan kebijakan pada penurunan tekanan inflasi yang didorong oleh tingginya permintaan agregat dan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang sempat mendorong inflasi mencapai 12,14 persen pada bulan September 2008. Untuk mengantisipasi berlanjutnya tekanan inflasi, BI menaikkan BI rate dari 8 persen secara bertahap menjadi 9,5 persen pada Oktober 2008. Dengan kebijakan moneter tersebut ekspektasi inflasi masyarakat tidak terakselerasi lebih lanjut dan tekanan neraca pembayaran dapat dikurangi.

Selanjutnya, memasuki triwulan II-2008, seiring dengan turunnya harga komoditi dunia serta melambatnya  permintaan agregat sebagai imbas dari krisis keuangan global, BI memperkirakan tekanan inflasi ke depan menurun, sehingga BI Rate pada bulan Desember 2008 diturunkan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 9,25 bps. Kedua, Kebijakan dalam sektor perbankan. Kebijakan tersebut diarahkan pada upaya memperkuat ketahanan sistem perbankan, khususnya dalam upaya persiapan implementasi Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord  yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.

Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko. Kebijakan dalam sektor perbankan lainnya adalah meningkatkan kapasitas pelayanan industri perbankan syariah. Sistem perbankan syariah terbukti lebih tahan terhadap hantaman krisis. Sistem perbankan ini juga sudah mulai digiatkan oleh negara-negara non-muslim seperti Inggris, Italia, Hong Kong, China, Malaysia, dan Singapura. Bahkan menurut anggota Komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap stabil di saat krisis global berlangsung dikarenakan perbankan syariah merupakan pilihan yang komprehensif, progresif, dan menguntungkan.

Seiring dengan semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008, kebijakan perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan domestik. Keketatan likuiditas yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas pendanaan. Namun upaya tersebut tetap dilakukan BI dengan memperhatikan risiko yang terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat. Untuk itu, upaya menjaga ketersediaan pendanaan bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai bantalan perekonomian rakyat, juga senantiasa dicermati.

Terkait dengan kebijakan di sektor perbankan ini, BI telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi perbankan dalam menyalurkan kredit dengan tetap memperhatikan unsur kehati-hatian dan kestabilan ekonomi secara umum. Ketentuan-ketentuan tersebut mencakup beberapa hal seperti: memperpanjang masa transisi penerapan Basel II untuk perhitungan beban modal risiko operasional, menyederhanakan tatacara pembukuan kantor bank (termasuk syariah), menyesuaikan bobot Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) untuk Kredit Usaha Kecil dengan skim penjaminan, menyesuaikan tatacara penilaian kredit dalam jumlah tertentu, memberikan fasilitas transaksi USD repurchase agreement (repo) bank kepada BI, dan mengurangi kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan aktiva non produktif.

Selanjutnya ketentuan-ketentuan tersebut akan diikuti dengan langkah pengaturan secara lebih mendalam, terkait dengan upaya peningkatan transparansi perbankan, penguatan efektifitas manajemen risiko likuiditas, dan produk-produk derivatif perbankan. Dengan demikian diharapkan seluruh pelaku industri perbankan, baik bank umum konvensional maupun syariah, akan memiliki ruangan yang cukup untuk menjalankan fungsi intermediasinya tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, sebagai prioritas utama. Ketiga,  Kebijakan di sektor pembayaran. Bank Indonesia turut berupaya mencegah terjadinya guliran krisis global terhadap kelancaran sistem pembayaran nasional. Dalam mencegah risiko sistemik dari risiko gagal bayar peserta yang cenderung meningkat pada kondisi krisis dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, BI telah melakukan perubahan jadwal setelmen sistem pembayaran pada hari tertentu.

Kebijakan BI dalam sistem pembayaran terus dilakukan untuk meningkatkan pengedaran uang yang cepat, efisien, aman, dan handal, meningkatkan layanan kas prima, dan meningkatkan kualitas uang. Sementara kebijakan non tunai diarahkan untuk memitigasi risiko sistem pembayaran melalui pengawasan sistem pembayaran, mengatur kegiatan money remittances, meningkatkan efisiensi pengelolaan rekening pemerintah, dan meningkatkan pembayaran non tunai.

Sebagai Bank Sentral, BI memang mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakan-kebijakan dalam menstabilkan kondisi moneter Indonesia. Dengan demikian diharapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat BI merupakan kebijakan yang strategis dan tepat sasaran dalam meminimalisir dampak krisis keuangan. Kebijakan moneter yang diambil BI juga diharapkan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sektor riil dan selanjutnya pada kesejahteraan masyarakat. (Catatan : Bahan tulisan ini, antara lain bersumber dari laporan Bank Indonesia)

IV.             KESIMPULAN DAN SARAN

Saat terjadi krisis global di Amerika Serikat tahun 2008, Indonesia menjadi salah satu negara yang menerima dampak cukup ringan dibanding dengan negara-negara lainnya terutama negara maju di kawasan Eropa. Hal ini disebabkan, Indonesia melakukan diversifikasi terhadap pangsa pasar ekspor, sehingga peran Amerika Serikat dan Uni Eropa semakin menurun. Mengidentifikasi kondisi keuangan Indonesia saat krisis global 2008. Bahkan terjadinya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karena secara teoritis akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Harga-harga produk dalam negeri menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang diimpor dari negara lain. Di pasar negara tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih memilih produk dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia meningkat.

Peran Akuntan menjadi salah satu pendukung dalam menahan dampak krisis global terhadap perekonomian Indonesia. Para Akuntan terus berupaya dalam melaksanakan prinsip Akuntansi yang memberikan suatu ketahanan bagi perusahaan-perusahaan untuk terus mampu bersaing dalam kegiatan ekspor. Para Akuntan juga menerapkan prinsipnya dalam sistem keuangan negara.

Bidang Akuntansi memberikan kontribusi yang cukup signifikan guna mencegah terjadinya krisis di Indonesia. Kontribusi tersebut tampak dalam dua hal, yaitu pengelolaan keuangan Negara dan tanggung jawab keuangan Negara. Kedua hal tersebut apabila dapat terlaksana akan memberikan kekuatan dan ketahanan terhadap perekonomian Indonesia dalam menghadapi adanya krisis global di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

World Economic Outlook. 2006-2009. Pertumbuhan Ekonomi menggunakan data PDB berdasar perhitungan PPP (Purchasing Power Parity).

Badan Pusat Statistik. 2001-2008. Fundamental Ekonomi Indonesia Masih Terjaga.

Badan Pusat Statistik. 2003 dan 2008. Perbandingan Pangsa Pasar Ekspor Utama Indonesia.

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2009. Akuntan Indonesia Mitra dalam Perubahan. http://www.iaiglobal.or.id/data/referensi/ai_edisi_20.pdf

Mudrajad. 2008. Memahami Krisis Global. http://mudrajad.com/upload/memahami%20krisis%20global.pdf

2 Comments

  1. Hermanto said,

    February 2, 2012 at 1:27 pm

    mw tanya dampak negatif kartu kredit bagi perekonomian indonesia apa ya

    • alena19 said,

      April 15, 2012 at 6:30 am

      hidup masyarakat yang konsumtif semakin meningkat..


Leave a comment